Selasa, 15 November 2011

history of Bukittinggi

Diposting oleh Debby An Pratama S. di 02.46
Kota ini memiliki asal-usul di lima desa yang berfungsi sebagai dasar untuk pasar.
Kota ini dikenal sebagai Fort de Kock pada zaman kolonial dalam referensi ke pos Belanda didirikan di sini pada 1825 selama Perang Padri. Benteng ini didirikan oleh Kapten Bauer di puncak bukit Jirek dan kemudian dinamai kemudian Letnan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, Hendrik Merkus de Kock. Jalan pertama yang menghubungkan daerah dengan pantai barat dibangun antara 1833 dan 1841 melalui Gorge Anai, mengurangi pergerakan pasukan, memotong biaya transportasi dan memberikan stimulus ekonomi bagi perekonomian pertanian. Pada tahun 1856 sebuah perguruan tinggi pelatihan guru (Kweekschool) didirikan di kota, yang pertama di Sumatera, sebagai bagian dari kebijakan untuk memberikan kesempatan pendidikan bagi penduduk pribumi [4]. Sebuah jalur rel yang menghubungkan kota dengan Payakumbuh dan Padang dibangun antara 1891 dan 1894.
Selama pendudukan Jepang di Indonesia dalam Perang Dunia II, kota itu merupakan kantor pusat untuk Angkatan Darat Jepang ke-25, kekuatan yang diduduki Sumatera. Kantor pusat dipindahkan ke kota pada bulan April 1943 dari Singapura, dan tetap sampai Jepang menyerah pada Agustus 1945.Masjid di pusat kota Bukittinggi
Selama Revolusi Nasional Indonesia, kota itu merupakan kantor pusat untuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari 19 Desember 1948 untuk 13 Juli 1949. Selama pasukan Belanda 'Polisi Aksi' kedua menyerang dan menduduki kota itu pada tanggal 22 Desember 1948, setelah sebelumnya dibom dalam persiapan. Kota itu menyerah kepada pejabat Republik pada Desember 1949 setelah pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
Kota ini secara resmi berganti nama Bukittinggi pada tahun 1949, menggantikan nama kolonialnya. Dari 1950 sampai 1957, Bukittinggi adalah ibu kota dari provinsi disebut Sumatera Tengah, yang meliputi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Pada bulan Februari 1958, selama pemberontakan di Sumatera melawan pemerintah Indonesia, pemberontak memproklamirkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi. Pemerintah Indonesia telah merebut kembali kota pada Mei tahun yang sama.
Sekelompok pria Muslim telah merencanakan untuk membom sebuah kafe di kota yang sering dikunjungi oleh wisatawan asing pada Oktober 2007, namun rencana itu dibatalkan karena risiko membunuh individu-individu Muslim di sekitarnya. Sejak 2008, pemerintah kota telah melarang Hari Valentine dan perayaan Tahun Baru karena mereka menganggap mereka tidak sejalan dengan tradisi Minangkabau atau Islam, dan dapat menyebabkan "tindakan tidak bermoral" seperti pasangan muda berpelukan, berciuman dan belum lagi berzina.






The city has its origins in five villages which served as the basis for a marketplace.

The city was known as Fort de Kock during colonial times in reference to the Dutch outpost established here in 1825 during the Padri War. The fort was founded by Captain Bauer at the top of Jirek hill and later named after the then Lieutenant Governor-General of the Dutch East Indies, Hendrik Merkus de Kock. The first road connecting the region with the west coast was built between 1833 and 1841 via the Anai Gorge, easing troop movements, cutting the costs of transportation and providing an economic stimulus for the agricultural economy. In 1856 a teacher-training college (Kweekschool) was founded in the city, the first in Sumatra, as part of a policy to provide educational opportunities to the indigenous population.[4] A rail line connecting the city with Payakumbuh and Padang was constructed between 1891 and 1894.

During the Japanese occupation of Indonesia in World War II, the city was the headquarters for the Japanese 25th Army, the force which occupied Sumatra. The headquarters was moved to the city in April 1943 from Singapore, and remained until the Japanese surrender in August 1945.
Mosque in central Bukittinggi

During the Indonesian National Revolution, the city was the headquarters for the Emergency Government of the Republic of Indonesia (PDRI) from December 19, 1948 to July 13, 1949. During the second 'Police Action' Dutch forces invaded and occupied the city on December 22, 1948, having earlier bombed it in preparation. The city was surrendered to Republican officials in December 1949 after the Dutch government recognized Indonesian sovereignty.

The city was officially renamed Bukittinggi in 1949, replacing its colonial name. From 1950 until 1957, Bukittinggi was the capital city of a province called Central Sumatra, which encompassed West Sumatra, Riau and Jambi. In February 1958, during a revolt in Sumatra against the Indonesian government, rebels proclaimed the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia (PRRI) in Bukittinggi. The Indonesian government had recaptured the town by May the same year.

A group of Muslim men had planned to bomb a cafe in the city frequented by foreign tourists in October 2007, but the plot was aborted due to the risk of killing Muslim individuals in the vicinity. Since 2008 the city administration has banned Valentine's Day and New Year's celebrations as they consider them not in line with Minangkabau traditions or Islam, and can lead to "immoral acts" such as young couples hugging, kissing and not to mention fornicating.

0 komentar:

Posting Komentar

Selasa, 15 November 2011

history of Bukittinggi

Diposting oleh Debby An Pratama S. di 02.46
Kota ini memiliki asal-usul di lima desa yang berfungsi sebagai dasar untuk pasar.
Kota ini dikenal sebagai Fort de Kock pada zaman kolonial dalam referensi ke pos Belanda didirikan di sini pada 1825 selama Perang Padri. Benteng ini didirikan oleh Kapten Bauer di puncak bukit Jirek dan kemudian dinamai kemudian Letnan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, Hendrik Merkus de Kock. Jalan pertama yang menghubungkan daerah dengan pantai barat dibangun antara 1833 dan 1841 melalui Gorge Anai, mengurangi pergerakan pasukan, memotong biaya transportasi dan memberikan stimulus ekonomi bagi perekonomian pertanian. Pada tahun 1856 sebuah perguruan tinggi pelatihan guru (Kweekschool) didirikan di kota, yang pertama di Sumatera, sebagai bagian dari kebijakan untuk memberikan kesempatan pendidikan bagi penduduk pribumi [4]. Sebuah jalur rel yang menghubungkan kota dengan Payakumbuh dan Padang dibangun antara 1891 dan 1894.
Selama pendudukan Jepang di Indonesia dalam Perang Dunia II, kota itu merupakan kantor pusat untuk Angkatan Darat Jepang ke-25, kekuatan yang diduduki Sumatera. Kantor pusat dipindahkan ke kota pada bulan April 1943 dari Singapura, dan tetap sampai Jepang menyerah pada Agustus 1945.Masjid di pusat kota Bukittinggi
Selama Revolusi Nasional Indonesia, kota itu merupakan kantor pusat untuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari 19 Desember 1948 untuk 13 Juli 1949. Selama pasukan Belanda 'Polisi Aksi' kedua menyerang dan menduduki kota itu pada tanggal 22 Desember 1948, setelah sebelumnya dibom dalam persiapan. Kota itu menyerah kepada pejabat Republik pada Desember 1949 setelah pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
Kota ini secara resmi berganti nama Bukittinggi pada tahun 1949, menggantikan nama kolonialnya. Dari 1950 sampai 1957, Bukittinggi adalah ibu kota dari provinsi disebut Sumatera Tengah, yang meliputi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Pada bulan Februari 1958, selama pemberontakan di Sumatera melawan pemerintah Indonesia, pemberontak memproklamirkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi. Pemerintah Indonesia telah merebut kembali kota pada Mei tahun yang sama.
Sekelompok pria Muslim telah merencanakan untuk membom sebuah kafe di kota yang sering dikunjungi oleh wisatawan asing pada Oktober 2007, namun rencana itu dibatalkan karena risiko membunuh individu-individu Muslim di sekitarnya. Sejak 2008, pemerintah kota telah melarang Hari Valentine dan perayaan Tahun Baru karena mereka menganggap mereka tidak sejalan dengan tradisi Minangkabau atau Islam, dan dapat menyebabkan "tindakan tidak bermoral" seperti pasangan muda berpelukan, berciuman dan belum lagi berzina.






The city has its origins in five villages which served as the basis for a marketplace.

The city was known as Fort de Kock during colonial times in reference to the Dutch outpost established here in 1825 during the Padri War. The fort was founded by Captain Bauer at the top of Jirek hill and later named after the then Lieutenant Governor-General of the Dutch East Indies, Hendrik Merkus de Kock. The first road connecting the region with the west coast was built between 1833 and 1841 via the Anai Gorge, easing troop movements, cutting the costs of transportation and providing an economic stimulus for the agricultural economy. In 1856 a teacher-training college (Kweekschool) was founded in the city, the first in Sumatra, as part of a policy to provide educational opportunities to the indigenous population.[4] A rail line connecting the city with Payakumbuh and Padang was constructed between 1891 and 1894.

During the Japanese occupation of Indonesia in World War II, the city was the headquarters for the Japanese 25th Army, the force which occupied Sumatra. The headquarters was moved to the city in April 1943 from Singapore, and remained until the Japanese surrender in August 1945.
Mosque in central Bukittinggi

During the Indonesian National Revolution, the city was the headquarters for the Emergency Government of the Republic of Indonesia (PDRI) from December 19, 1948 to July 13, 1949. During the second 'Police Action' Dutch forces invaded and occupied the city on December 22, 1948, having earlier bombed it in preparation. The city was surrendered to Republican officials in December 1949 after the Dutch government recognized Indonesian sovereignty.

The city was officially renamed Bukittinggi in 1949, replacing its colonial name. From 1950 until 1957, Bukittinggi was the capital city of a province called Central Sumatra, which encompassed West Sumatra, Riau and Jambi. In February 1958, during a revolt in Sumatra against the Indonesian government, rebels proclaimed the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia (PRRI) in Bukittinggi. The Indonesian government had recaptured the town by May the same year.

A group of Muslim men had planned to bomb a cafe in the city frequented by foreign tourists in October 2007, but the plot was aborted due to the risk of killing Muslim individuals in the vicinity. Since 2008 the city administration has banned Valentine's Day and New Year's celebrations as they consider them not in line with Minangkabau traditions or Islam, and can lead to "immoral acts" such as young couples hugging, kissing and not to mention fornicating.

0 komentar on "history of Bukittinggi"

Posting Komentar

 

Debby Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting